Sulawesi Utara – kibarindonesia.com – Aroma tak sedap tercium dari pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pembiayaan Haji di Sulawesi Utara (Sulut). Kamis 08/05/2025
Meski telah dikucurkan dana miliaran dari APBD, para jamaah haji tetap dibebani penuh biaya perjalanan lokal. Dugaan penyimpangan pun mencuat, memantik sorotan tajam dari publik dan mantan legislator.
H. Sultan Udin Musa, S.H., mantan anggota DPRD Sulut dua setengah periode, angkat bicara.
Ia mengungkap adanya kejanggalan serius dalam pelaksanaan Perda yang digagas anggota DPRD Amir Liputo dan disahkan pada November 2024.
Perda itu sejatinya bertujuan meringankan biaya transportasi lokal jamaah dari Manado ke embarkasi dan sebaliknya.
Namun fakta di lapangan justru berkebalikan.
“Sudah ada Perda, sudah ada alokasi dari APBD, tapi jamaah tetap bayar sendiri.
Ini jelas-jelas tidak sesuai semangat awal.
Harus ada yang bertanggung jawab,” tegas Sultan saat ditemui di Manado.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Sultan, biaya perjalanan lokal sebesar Rp7.542.000 per jamaah untuk 713 jamaah asal Sulut berarti total anggaran yang dibutuhkan menembus angka Rp5 miliar.
Namun, Pemprov Sulut hanya mengalokasikan Rp3 miliar, dengan alasan sisanya akan ditanggung kabupaten/kota.
Anehnya, jamaah tetap dibebani membayar penuh.
Lebih mengkhawatirkan lagi, menurut Sultan, dana yang dibayarkan jamaah tidak disetorkan ke rekening resmi Kementerian Agama, melainkan ke rekening pihak-pihak tertentu yang tidak jelas.
“Kalau benar, ini bukan lagi soal administrasi, ini bisa masuk ke ranah pidana korupsi,” tegasnya.
Ia pun mendesak aparat penegak hukum, khususnya Polda Sulut, agar segera bertindak dan menyelidiki dugaan penyimpangan ini.
Sultan bahkan menyatakan siap menyerahkan data yang dimilikinya.
Kepala Kantor Wilayah Kemenag Sulut, Ulyas Taha, terkesan melempar tanggung jawab.
Ia menyebut bahwa urusan anggaran lokal sepenuhnya tanggung jawab pemerintah daerah.
“Jangan seolah-olah menyalahkan Kemenag. Kami tidak pegang uangnya. Fokus kami hanya mengurus visa dan kloter,” katanya.
Taha menambahkan bahwa dana provinsi yang dikucurkan hanya cukup menutupi sebagian kecil dari kebutuhan.
“Rp2,6 miliar itu per jamaah hanya sekitar Rp3 jutaan. Sisanya, ya di luar tanggung jawab kami,” ujarnya.
Pernyataan tersebut justru memperkeruh suasana, memperlihatkan tidak adanya koordinasi dan transparansi antara Pemprov, Pemda, dan Kemenag.
Di tengah ketidakjelasan ini, publik mempertanyakan, ke mana sebenarnya dana subsidi itu mengalir?
Kasus ini membuka mata banyak pihak tentang potensi penyimpangan dana umat di sektor yang seharusnya penuh amanah.
Desakan agar aparat penegak hukum bergerak cepat semakin menguat, guna mengungkap apakah ada pihak-pihak yang memanfaatkan momentum ibadah suci demi kepentingan pribadi.
Upaya konfirmasi kepada pihak Kepala Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Sulut, H. Wahyuddin Ukoli melalui Via WhastApp mengatakan, “Selamat sore,
Saya bertugas di arab saudi sekarang, dan maaf sekarang lagi sibuk mempersiapkan akomodasi,” tegas Ukoli
( Stefanus )