Manado – kibarindonesia.com – Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sulawesi Utara kembali menuai sorotan tajam. Hingga awal Agustus 2025, lembaga ini belum juga menyerahkan hasil audit kerugian negara atas dugaan tindak pidana korupsi di tubuh Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Manado.
Situasi tersebut dinilai memberi dampak signifikan terhadap proses penyidikan yang dilakukan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulut, terutama dalam menentukan status hukum sejumlah pejabat PD Pasar, termasuk Direktur Utama berinisial LS.
Dalam praktik penegakan hukum, audit dari BPKP merupakan instrumen vital untuk memastikan adanya kerugian negara sekaligus menjadi dasar hukum dalam penetapan tersangka. Tanpa kejelasan audit, langkah hukum menjadi tertunda.
Kondisi ini menimbulkan kekecewaan dari berbagai pihak. Ketua IKAPPI Manado, Darwis Hutuba, menyebut ketidakpastian audit sebagai preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi di daerah.
“Kami menghormati kerja profesional BPKP, tapi publik juga butuh kepastian. Proses ini sudah terlalu lama menggantung. Harus ada itikad baik dan langkah nyata untuk menunjukkan bahwa negara tidak sedang abai,” kata Darwis.
Ia juga menambahkan, jika belum ada perkembangan signifikan dalam waktu dekat, pihaknya akan mengambil langkah formal dengan menyurati Presiden RI, Menteri Dalam Negeri, dan Kepala BPKP Pusat untuk meminta supervisi terhadap proses audit ini.
Masalah di PD Pasar sendiri tak berhenti pada dugaan korupsi. Sejumlah persoalan manajerial yang berpotensi bermasalah secara hukum dan etika juga ikut mencuat. Antara lain, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, pemotongan gaji tanpa dasar regulasi yang jelas, serta kerja sama pengelolaan sampah dan parkir yang dinilai tertutup dan tak sesuai prinsip transparansi publik.
Pengamat pemerintahan, Danny Rompis, menilai lambannya penuntasan audit bisa memengaruhi persepsi publik terhadap komitmen negara dalam reformasi birokrasi.
“Institusi seperti BPKP seharusnya tampil sebagai garda depan pengawasan. Ketika prosesnya terkesan lambat dan tak terbuka, wajar bila masyarakat mempertanyakan komitmen penegakan hukum,” ujar Rompis.
Sementara itu, Roy Budiman, mantan karyawan PD Pasar yang mengaku diberhentikan secara sepihak, menekankan bahwa proses hukum tidak hanya menyangkut kerugian negara, tetapi juga dampaknya pada hak-hak dasar warga.
“Kami hanya ingin keadilan ditegakkan. Jika aturan bisa dilanggar tanpa konsekuensi, maka nasib pekerja akan selalu di ujung tanduk,” ungkap Roy.
Kini publik menunggu langkah konkret dari BPKP Sulut. Apakah lembaga ini akan segera menuntaskan audit sebagai bentuk dukungan terhadap supremasi hukum? Atau justru membiarkan waktu menjadi penghalang keadilan?
Satu hal yang pasti: keadilan yang terus tertunda hanya akan melahirkan ketidakpercayaan terhadap sistem.
(Tim Redaksi)





