Putusan Pengadilan di Menangkan Warga, Perumahan GSL 5 di Atas Mata Air Terancam Dibongkar

Minahasa — kibarindonesia.com – Babak baru dalam sengketa pembangunan perumahan Griya Sea Lestari (GSL) 5 oleh PT. Bangun Minanga Lestari (BML) akhirnya menemui titik terang. Setelah perjuangan hukum panjang dan melelahkan, masyarakat Desa Sea, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, akhirnya memenangkan gugatan terhadap pengembang. Pengadilan resmi membatalkan izin lokasi dan izin lingkungan milik PT. BML dan menyatakan keduanya batal demi hukum.

Putusan yang kini berkekuatan hukum tetap (inkracht) ini membuka jalan bagi pembongkaran proyek perumahan di atas kawasan lindung yang menjadi sumber mata air utama bagi warga. Namun, polemik belum usai.

PT. BML berusaha bertahan dengan mengklaim telah mengantongi izin baru seluas 28 hektar, berbeda dari izin lama yang digugat seluas 30 hektar. Mereka berdalih bahwa putusan pengadilan hanya berlaku atas izin lama, bukan izin terbaru.

Namun, klaim ini langsung dibantah keras oleh Kuasa Hukum warga Desa Sea, Noch Sambouw, yang menyebut tindakan menerbitkan atau memperbarui izin saat proses hukum masih berjalan adalah perbuatan melanggar hukum.

“Apabila satu produk Administrasi Keputusan Tata Usaha Negara sedang diuji di pengadilan, maka keberadaan produk Keputusan Tata Usaha Negara tersebut tidak bisa diutak-atik apalagi diperbarui,” tegas Noch. “Jika izin dasar sudah dibatalkan, maka seluruh izin turunan yang muncul setelahnya otomatis gugur secara hukum.”

Bukan hanya soal legalitas, kemenangan ini juga menjadi momentum penting dalam perlindungan lingkungan hidup. Perumahan GSL 5 diketahui dibangun tepat di atas mata air yang selama ini menjadi sumber air bersih utama warga Desa Sea.

“Bayangkan, limbah rumah tangga seperti sabun, detergen, bisa langsung meresap ke sumber air. Ini bukan sekadar konflik perizinan, tapi krisis lingkungan hidup,” kata Noch.

Ia menegaskan bahwa kawasan tersebut secara hukum telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, dan pembangunan di atasnya adalah pelanggaran serius terhadap aturan tata ruang dan lingkungan.

Dengan dibatalkannya izin dasar, seluruh bangunan di kawasan GSL 5 dinyatakan ilegal. Bangunan ikegal wajib dibongkar apalagi di Kawasan Lindung Mata Air harus dihijaukan kembali agar resapan air di Mata Air Kolongan Desa Sea tetap lestari.

Noch juga mengingatkan bahwa konsumen yang telah membeli unit di kawasan ini harus siap menanggung risiko.

“Sejak awal masyarakat sudah menolak. Kasus ini sudah berjalan sebelum pembangunan dimulai. Jadi, siapa pun yang membeli rumah di sana, sadar atau tidak, telah ikut berspekulasi,” ujarnya.

Noch menyebut tindakan PT. BML sebagai bentuk spekulasi bisnis yang membahayakan lingkungan, dan mengingatkan bahwa alam bukan komoditas yang bisa ditawar-tawar.
“Lingkungan hidup adalah warisan Tuhan untuk umat manusia. Bukan ruang investasi tanpa batas.”

Kini, nasib Griya Sea Lestari 5 tinggal menunggu waktu. Dengan putusan pengadilan yang telah inkracht, pengembang sudah tidak memiliki dasar hukum untuk mempertahankan proyek tersebut.

Langkah berikutnya adalah eksekusi pembongkaran oleh aparat, serta pemulihan kawasan untuk dikembalikan menjadi hutan lindung yang melindungi sumber air bagi generasi mendatang.

Kasus ini menjadi preseden penting secara nasional dalam pengawasan pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan. Di tengah maraknya konflik lahan dan proyek properti yang seringkali menyingkirkan kepentingan masyarakat dan lingkungan, kemenangan warga Sea adalah alarm peringatan bahwa pembangunan tanpa kepatuhan hukum dan etika lingkungan tidak bisa dibiarkan terus berlangsung.
(Stefanus)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *