Tomohon – kibarindonesia.com – Komitmen menjaga integritas demokrasi kembali tercoreng. Dua pejabat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Tomohon resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Tomohon atas dugaan tindak pidana korupsi dana hibah pengawasan Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tomohon Tahun 2024.
Dua tersangka yang kini mendekam di balik jeruji adalah VM alias Ver, selaku Koordinator Sekretariat, dan VG alias Ra, Bendahara Pengeluaran Bawaslu Tomohon. Keduanya diduga kuat menyalahgunakan dana hibah yang bersumber dari APBD Kota Tomohon Tahun Anggaran 2023 dan 2024, dengan nilai kerugian negara mencapai Rp881.131.307.
Penahanan resmi dilakukan pada Senin (30/9/2025) dan akan berlangsung selama 20 hari ke depan, terhitung hingga 19 Oktober 2025, di Rutan Kelas IIA Manado.
“Penahanan dilakukan berdasarkan surat perintah penetapan tersangka dan surat perintah penahanan yang ditandatangani hari ini. Ini bentuk keseriusan kami dalam menindak setiap praktik korupsi yang merugikan negara dan mencederai kepercayaan publik,” tegas Kasi Intelijen Kejari Tomohon, Ivan Yurri Victoria Roring SH MH.
Dana hibah tersebut sejatinya dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan pengawasan pemilu yang kredibel dan transparan. Namun, hasil penyelidikan intensif Kejari mengindikasikan penyimpangan anggaran yang dilakukan secara sistematis oleh oknum di lingkup Bawaslu sendiri.
“Dana ini adalah amanat rakyat, digunakan untuk menjamin demokrasi yang bersih. Ketika dana itu justru diselewengkan oleh mereka yang seharusnya menjadi pengawal integritas pemilu, maka ini bukan sekadar pelanggaran hukum ini adalah pengkhianatan terhadap demokrasi,” lanjut Ivan.
Sebelumnya, Kejari Tomohon telah melakukan penggeledahan di Kantor Bawaslu Tomohon. Penggeledahan tersebut dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penggeledahan dari PN Tondano Nomor 24/Pid.B-Geledah/2025/PN Tnn, guna melengkapi alat bukti dalam proses penyidikan.
Kejari Tomohon juga mengimbau masyarakat untuk tidak tinggal diam jika menemukan indikasi penyalahgunaan anggaran, khususnya dana publik.
“Kami membuka pintu selebar-lebarnya bagi masyarakat yang ingin melaporkan dugaan tindak pidana korupsi. Kejaksaan akan memproses setiap laporan secara profesional dan akuntabel,” tegas Ivan.
Kasus ini menjadi preseden buruk bagi upaya menjaga marwah demokrasi di tingkat lokal. Ketika dana pengawasan pemilu simbol komitmen terhadap keadilan dan transparansi justru dikorupsi oleh pihak internal pengawas itu sendiri, maka yang dipertaruhkan bukan hanya anggaran negara, tetapi juga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi itu sendiri. (*)