Pemagaran Lahan Sea Memanas: Rakyat Melawan, Polisi Pasang Badan untuk Pengusaha

Manado — kibarindonesia.com – Konflik lahan di kawasan Sea, Kota Manado, Sulawesi Utara, kembali memanas. Aksi pemagaran sepihak oleh pihak pengusaha Jimmy Widjaya dan perusahaannya pada Selasa (30/09), memicu gelombang protes keras dari warga yang telah puluhan tahun menguasai dan menggarap lahan tersebut.

Ironisnya, aksi pemasangan pagar tersebut mendapat pengawalan ketat dari personel gabungan Polresta Manado dan Polda Sulut. Kehadiran aparat penegak hukum di tengah-tengah warga yang mempertahankan tanah garapan mereka dinilai sejumlah pihak sebagai bentuk keberpihakan yang mencederai rasa keadilan.

Pengacara warga Sea, Noch Sambouw, menyebut tindakan pemagaran sebagai ilegal dan melanggar hukum. Ia menegaskan, dalam kasus tanah yang masih disengketakan dan sedang dalam penguasaan warga, tindakan memagari hanya sah dilakukan melalui proses eksekusi pengadilan.

“Ini tindakan sewenang-wenang! Tanah ini sudah dikuasai warga puluhan tahun, ada bukti surat dari pemerintah desa. Tapi tiba-tiba dipagar oleh orang yang belum jelas haknya dan belum pernah diuji di pengadilan. Ini jelas melawan hukum,” tegas Sambouw saat ditemui wartawan.

Sambouw juga mengungkap fakta mengejutkan tanah tersebut pernah disengketakan secara perdata dan gugatan dinyatakan N.O. (Niet Ontvankelijke Verklaard) gugatan ditolak karena cacat formil. Parahnya, tanah yang putusan gugatannya ditolak itu kemudian dijual kepada Jimmy Widjaya.

“Anehnya, tanah yang jelas-jelas dalam sengketa bisa dijual dan diproses oleh notaris. Padahal Pasal 39 huruf F PP 24 Tahun 1997 melarang notaris membuat akta jual beli atas tanah yang sedang dalam perkara,” sorot Sambouw.

Di sisi lain, pihak kepolisian berdalih hanya menjalankan tugas pengamanan atas permintaan pemegang sertifikat yang dianggap sah secara administratif. Kabag Ops Polresta Manado, Kompol L. Tadung, menyebut pengamanan dilakukan demi mencegah konflik dan melindungi hak pihak yang mengantongi dokumen legal.

“Kami hanya mengamankan. Yang mengajukan permohonan adalah pihak dengan sertifikat sah, dan setelah kami asesmen, tidak ada masalah,” ujar Kompol Tadung.

Namun ketika ditanya soal klaim masyarakat yang telah menguasai lahan selama puluhan tahun, serta adanya indikasi proses hukum yang belum tuntas, pihak kepolisian menyatakan bahwa ranah mereka bukan untuk menentukan siapa pemilik sebenarnya.

“Kami tidak menentukan kepemilikan. Kalau masyarakat merasa haknya dilanggar, silakan tempuh jalur hukum seperti ke PTUN. Kami akan hormati hasil pengadilan,” tambahnya.

Kasus ini menjadi sorotan tajam karena mencerminkan persoalan klasik agraria di Indonesia yang tumpang tindih kepemilikan, lemahnya perlindungan terhadap petani, dan potensi kriminalisasi rakyat kecil.

Sambouw menyerukan agar warga yang selama ini diam karena mengedepankan musyawarah, kini juga menempuh jalur resmi dan mengajukan permohonan pengamanan ke kepolisian. “Agar keadilan itu terlihat. Bukan hanya pengusaha yang dilindungi,” ujarnya.

Warga Sea yang ditemui di lokasi mengaku kecewa dan takut kehilangan lahan yang telah mereka garap turun-temurun. “Kami ini bukan pendatang, sudah tinggal dan menanam di sini sejak lama. Sekarang datang orang bawa pagar, polisi kawal, kami seolah-olah tidak punya hak apa-apa,” kata seorang warga.

Kasus senketa tanah di Desa Sea menambah daftar panjang konflik agraria di tanah air yang tak kunjung selesai. Ketika hukum administratif dijadikan dasar tanpa mempertimbangkan realitas penguasaan fisik dan sejarah tanah, rakyat kecil lagi-lagi menjadi korban.

Saat ini, warga bersama tim kuasa hukum tengah menyiapkan langkah hukum lanjutan, termasuk gugatan balik terhadap pihak yang melakukan pemagaran serta pelaporan ke Komnas HAM dan Ombudsman RI atas dugaan pelanggaran netralitas aparat. (Tim)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *