Minahasa Tenggara – kibarindonesia.com – Ratatotok, Kegiatan penambangan yang dilakukan PT Hakian Wellem Rumansi (HWR) di kawasan Pasolo, Kecamatan Ratatotok, Minahasa Tenggara, kian memicu kontroversi. Berdasarkan hasil penelusuran lapangan dan informasi yang dihimpun, perusahaan tersebut diduga terus beroperasi secara intensif, bahkan hingga malam hari, di lokasi yang belum jelas status legalitas lahannya.
Yang mengkhawatirkan, aktivitas tersebut dilaporkan tetap berlangsung meski Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah secara resmi menolak Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) Operasi Produksi PT HWR untuk tahun 2024–2026. Penolakan itu tertuang dalam Surat Keputusan Nomor: T-59-MB.04/DJB.N/2025, yang juga telah ditembuskan ke berbagai pejabat strategis di Kementerian ESDM.
Tak hanya itu, sebelumnya pada 25 Oktober 2023, Direktorat Teknik dan Lingkungan Kementerian ESDM juga telah bersurat kepada pimpinan PT HWR untuk menghentikan seluruh layanan teknis dan lingkungan terhadap perusahaan ini, karena belum menindaklanjuti sejumlah kewajiban administratif.
“Tanpa RKAB yang disetujui, kegiatan PT HWR tidak memiliki dasar hukum. Mereka ibarat kendaraan tanpa STNK—tidak layak beroperasi,” tegas Jerry Syamsudin dari Forum Pemerhati Masyarakat Tambang (Formasta) Sulawesi Utara, Selasa (6/5/2025), kepada wartawan di Manado.
Jerry menekankan bahwa aktivitas penambangan tanpa RKAB yang sah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Berdasarkan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pelaku usaha yang menambang tanpa izin dapat dikenai hukuman penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
Sanksi administratif juga dapat dijatuhkan, mulai dari penghentian sementara hingga pencabutan izin usaha, sebagaimana diatur dalam Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2023. Selain itu, sanksi tambahan mencakup kewajiban untuk mengembalikan hasil tambang yang diambil secara ilegal serta memulihkan kerusakan lingkungan.
Yang lebih memprihatinkan, Jerry menyebut bahwa PT HWR juga diduga beraktivitas di atas lahan masyarakat yang belum mendapat persetujuan atau pembebasan lahan secara sah. Hal ini berpotensi memunculkan unsur pelanggaran hak milik dan pidana agraria.
Di sisi lain, DPRD Mitra telah mengambil langkah serius. Dalam hearing yang digelar bersama perwakilan perusahaan, Dewan merekomendasikan penghentian sementara kegiatan PT HWR, sebagai bentuk dukungan terhadap keputusan Kementerian ESDM.
Sementara itu, Ketua Ormas Waraney Santiago Indonesia, Martin Waworuntu, mendesak Polda Sulut untuk melakukan penertiban dan pemeriksaan dokumen perizinan PT HWR.
“Jika benar tidak memiliki izin lengkap, termasuk RKAB, maka lokasi tambang harus diberi garis polisi. Penertiban harus dilakukan tegas, demi kepastian hukum dan keadilan masyarakat,” tegas Martin.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT HWR belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan pelanggaran yang ditujukan kepada mereka.
(***Tim)